Beranda | Artikel
Bulan Safar, Bulan Istimewa atau Bulan Sial? (Bag. 2)
Jumat, 16 Agustus 2024

Pada tulisan sebelumnya, telah disebutkan bahwa tidak ada keistimewaan secara khusus pada bulan Safar. Bulan Safar, tidak ubahnya seperti bulan-bulan yang lain, takdir Allah tetap berjalan kepada seluruh makhluknya. Bulan Safar, sebagaimana di bulan lain, kita diperintahkan untuk berbuat ketaatan dan istikamah di atasnya, begitu pun di bulan Safar. Kalau di bulan lain, kita diperintahkan untuk meninggalkan segala kemaksiatan, demikian pula di bulan Safar. Seperti itulah yang seharusnya diyakini dan dilaksanakan oleh seorang yang beriman.

Namun, kiranya masih ada dari sebagian kaum muslimin yang melestarikan keyakinan-keyakinan orang-orang Arab jahiliah terdahulu. Di mana orang-orang Arab jahiliah mereka menganggap sial bulan Safar. Mereka menganggap bahwa bulan Safar adalah bulan turunnya bala, kesialan, musibah, dan bencana.

Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang menginginkan suatu hajat pada bulan Safar tidak mereka tunaikan. Seperti ingin menikah, berdagang, safar, dan lain sebagainya. Karena anggapan sial yang sudah terpatri dalam benak mereka. Berikut ini beberapa kekeliruan dan ke-bid’ah-an tentang bulan Safar,

Kekeliruan-kekeliruan di bulan Safar

Pada bulan Safar ini, terdapat beberapa keyakinan-keyakinan dan kekeliruan-kekeliruan yang harus diketahui. Agar tidak terjatuh ke dalam kekeliruan tersebut.

Pertama, orang Arab terdahulu senang memainkan bulan Safar ini. Yaitu, dengan memajukan dan mengakhirkan bulan ini. Mereka mengetahui ayat Allah Ta’ala.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضَ مِنْهَاۤ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ ۗ

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu….” (QS. At-Taubah: 36)

Mereka mengetahui akan ayat Allah ini, bahwasanya Alah telah mengatur bilangan bulan dan waktu-waktunya. Namun, mereka mengakhirkan dan memajukan sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka menjadikan bulan Safar sebagai pengganti dari bulan Muharam.

Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّ العُمْرَةَ فِي أَشْهُرِ الحَجِّ مِنْ أَفْجَر الفُجُوْرِ فِي الأَرْضِ ، وَيَجْعَلُوْنَ المُحَرَّمَ صَفَراً ، وَيَقُوْلُوْنَ : إِذَا بَرَأَ الدَّبَرُ ، وَعَفَا الأَثَرُ ، وَانْسَلَخَ صَفَر : حَلَّتْ العُمْرَةُ لِمَنْ اِعْتَمَرَ

“Dahulu mereka berpendapat bahwa umrah di bulan haji adalah kedurhakaan yang paling besar di muka bumi. Mereka menjadikan bulan Muharam sebagai bulan Safar. Lalu, mereka mengatakan, ‘Jika unta jemaah haji telah kembali, bekas-bekas tapak kakinya telah menghilang, dan bulan Safar telah habis. Maka, dihalalkan umrah bagi yang ingin melaksanakan umrah.” (HR. Bukhari no. 1489 dan Muslim no.1240)

Demikianlah keyakinan mereka, mereka tidak membolehkan umrah, kecuali setelah selesai bulan Safar. Bukan hanya ini saja, terkadang mereka menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram dan bulan Muharam mereka akhirkan setelah bulan Safar. Sesuai dengan hawa nafsu yang mereka inginkan. Bahkan, terjadi pada suatu keadaaan mereka menambah bulan Safar menjadi dua.

Kedua, sifat pesimis pada bulan Safar. Hal ini masyhur di kalangan penduduk jahiliah yang sayangnya hal ini masih tersisa pada sebagian orang yang menyandarkan diri kepada agama Islam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ عَدْوَى وَلَا طَيْرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَر وَفر مِنَ المَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُ مِنَ الأَسَدِ

“Tidak ada penyakit menular, thiyarah, burung hantu, dan safar (yang dianggap membawa kesialan). Dan larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Bukhari no.5387 dan Muslim no.2220)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Safar ditafsiri dengan banyak penafsiran. Yang dimaksud safar adalah bulan Safar yang dikenal dan orang Arab pesimis dengannya. Ia adalah penyakit perut yang menyerang unta dan ia berpindah dari satu unta ke unta lainnya. Karena itu kata safar pada hadis di atas sebagai kata sambung dari ‘Adwa (penyakit menular). Hal ini termasuk dalam bab menyebutkan perkara khusus kepada yang umum. Bulan Safar maksudnya adalah mengulur-ulur di mana orang kafir tersesat dengannya. Mereka mengakhirkan pengharaman bulan Muharam ke bulan Safar. Sehingga mereka menghalalkan setahun dan mengharamkan setahun.

Yang paling kuat adalah bahwa maksudnya di sini adalah bulan Safar, di mana orang jahiliah pesimis dengannya. Adapun waktu tidak ada pengaruhnya dalam takdir Allah Ta’ala. Ia dengan waktu lainnya sama saja, ditakdirkan padanya kebaikan dan keburukan.” [1]

Kemudian Syekh melanjutkan,

“Meniadakan empat perkara ini, bukan meniadakan keberadaannya. Karena semua itu memang ada. Akan tetapi, meniadakan pengaruhnya. Sebab yang memberikan pengaruh adalah Allah. Jika perkaranya memiliki sebab yang diketahui, maka itu adalah sebab yang dibenarkan. Sementara kalau itu sebab yang tidak jelas, maka itu termasuk sebab yang batil. Maka, permasalahan meniadakan pengaruh itu masalah tersendiri dan masalah sebab itu pun lain lagi.” [2]

Sehingga bulan Safar tidak dapat memberikan pengaruh berupa musibah, petaka, kecelakaan, dan lain sebagainya, kecuali dengan izin Allah. Oleh karena itu, bulan Safar bukanlah bulan yang sial. Untuk itu, keyakinan-keyakinan seperti ini harus dihapuskan dan dienyahkan dari muka bumi ini. Karena tidak sesuai dengan akidah dan syariat Islam.

Kemungkaran dan ke-bid’ah-an di bulan Safar

Terdapat beberapa keyakinan yang ini diada-adakan. Sama sekali tidak ada dalilnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagian ke-bid’ah-an ini timbul dari keyakinan sial dari bulan safar.

Tidak memperbolehkan untuk melaksanakan pernikahan atau walimatul ‘ursy. Karena adanya anggapan sial di bulan Safar. Maka, ini adalah sebuah ke-bid’ah-an dan kemungkaran.

Sebagian orang berkeyakinan, siapa yang membaca firman Allah di surah Yusuf, Allah Ta’ala berfirman,

وَا للّٰهُ غَا لِبٌ عَلٰۤى اَمْرِهٖ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Yusuf: 21)

Maka, ia akan terhalang dari keburukan, musibah, petaka, dan lain sebagainya. Tentunya hal ini tidak terdapat pada ajaran Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara ke-bid’ah-an di bulan Safar, terdapat suatu amalan berupa salat sunah yang dilakukan pada hari Rabu akhir bulan Safar tepatnya pada waktu Duha. Salat sunah empat rakaat dengan satu kali salam. Dengan membaca surah Al-Fatihah kemudian surah Al-Kautsar tujuh belas kali, surah Al-Ikhlas lima puluh kali, dan membaca mu’awidzatain satu kali. Hal itu dilakukan di setiap rakaat.

Diyakini, siapa yang menunaikan salat ini dengan cara seperti di atas, maka Allah akan menjaganya dengan kemuliaan Allah dari semua bencana yang turun pada hari itu.

Hal ini pun juga termasuk dari ke-bid’ah-an dan kemungkaran yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabatnya.

Di antara kemungkaran yang ada, terdapat hadis palsu tentang bulan Safar. Sebuah hadis yang dipalsukan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dikatakan,

مَنْ بَشَّرَنِي بِخُرُوْجِ صَفَر بَشَّرْتُهُ بِالجَنَّةِ

“Siapa yang memberikan padaku kabar gembira berupa telah berlalunya bulan safar, maka aku akan berikan kabar gembira kepadanya berupa surga.”

Demikianlah anggapan-anggapan sial serta kemungkaran dan ke-bid’ah-an yang ada di bulan Safar. Tentu semuanya tidak benar adanya dan semuanya adalah perkara yang batil. Karena bulan Safar sebagaimana bulan hijriah yang lainnya.

Semoga bermanfaat

Wallahul Muwaffiq. 

***

Depok, 09 Safar 1446 H / 13 Agustus 2024

Penulis: Zia Abdurrofi


Artikel asli: https://muslim.or.id/97172-bulan-safar-bulan-istimewa-atau-bulan-sial-bag-2.html